DUKUNGAN DAN MASUKAN
BAGI PENYEMPURNAAN KURIKULUM 2013
Kami meyampaikan apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim pengembang kurikulum yang telah
bekerja dengan baik sehingga
menghasilkan rancangan Kurikulum 2013.
Kami juga menyampaikan terima kasih yang tiada terhingga kepada pemerintah
(Kemdikbud) yang telah menyediakan
kesempatan terbuka untuk menerima respons
dari berbagai pihak.
Kami adalah:
1.
Himpunan Sarjana Bimbingan
dan Konseling Indonesia (HSBKI)
2.
Forum Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling Indonesia (F-MGBKI)
3.
Forum Komunikasi Jurusan Bimbingan dan Konseling Indonesia (FK-
JBKI)
4. Ikatan Bimbingan dan Konseling Sekolah (IBKS), divisi Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia (ABKIN)
5. Ikatan Pendidik dan Supervisi Konseling (IPSIKON), divisi Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
Kami datang dari berbagai propinsi di Tanah Air, berkumpul di
Universitas Pendidikan Indonesia,
memenuhi undangan ketua umum HSBKI
pada hari Minggu 1 Desember 2013 untuk
berdiskusi dalam rangka memberi dukungan dan masukan bagi penyempurnaan
Kurikulum 2013.
Tulisan ini berisi dua pesan utama; yaitu (1) pemahaman dan dukungan kami terhadap pengembangan Kurikulum 2013, dan (2)
masukan tentang peneguhan posisi dan
arah layanan Bimbingan dan Konseling
(BK) untuk mengoptimalkan keberhasilan peserta didik dalam mencapai kompetensi
utuh pendidikan nasioal.
A.
DUKUNGAN TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM 2013
Setelah membaca dan berdiskusi tentang rancangan Pengembangan
Kurikulum 2013, maka dengan ini kami MENYATAKAN DUKUNGAN DAN KOMITMEN
PENGAWALAN TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM 2013 dengan alasan sebagai berikut.
1.
Kurikulum 2013 memiliki spirit yang kuat untuk pemulihan fungsi dan
arah pendidikan kea rah yang lebih sesuai dengan pasal 3 UU NO 20/2003, yang mengamanahkan bahwa watak dan peradaban bangsa yang sesuai
dengan nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila dan UUD 1945 harus menjadi tujuan
eksistensial pedidikan, yang melandasi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagai tujuan kolektif-kultural pendidikan, yang diejawantahkan melalui pengembangan
potensi peserta didik sebagai tujuan
individual pendidikan. Kurikulum 2013 dimaksudkan untuk menyiapkan peserta
didik untuk sukses dalam mengadapi berbagai tuntutan dan tantangan kehidupan di
era globalisasi dengan tetap berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945.
2.
Kurikulum 2013 secara tegas menitikberatkan pada pencapaian
kompetensi sikap, ketarampilan dan pengetahuan sebagai suatu keutuhan. Kurikulum
2013 menekankan pada keterpaduan sikap,
keterampilan dan pengetahuan sebagai kompetensi utuh yang harus dicapai oleh peserta
didik. Tidak memisahkan antara mata pelajaran dangan muatan lokal, Tidak
memisahkan antara pendidikan akademik dan pendidikan karakter karena keduanya
dipandang sebagai suatu keutuhan yang harus memberikan kemaslahatan bagi bangsa. Sementara dalam
kurikulum sebelumnya, keterpaduan sikap, keterampilan dan pengetahuan, belum
terakomodasi dengan baik. Demikian pula keterpaduan kompetensi perkembangan (nilai-nilai karakter,
keseimbangan antara soft dan hardskills, kewirausahaan, dan
belajar aktif sesuai dengan tuntutan zaman).
3.
Kurikulum 2013 memiliki spirit yang kuat untuk memulihkan proses pendidikan
sebagai proses pembelajaran yang mendidik sebagai wahana pengembangan kehidupan
yang demokrtais, karakter dan pengembangan kemandirian sebagai softskills,
serta penguasaan sains dan teknologi dan seni sebagai hardskills. Capaian pendidikan merupakan interaksi yang fungsional antara
efektivitas pembelajaran kurikulum (x) dan pembelajaran siswa aktif berbasis
kompetensi (y) dengan lama pembelajaran di sekolah(z). Kurikulum 2013 menuntut
profesionalitas guru yang baik, yang mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang dapat menstimulasi peserta
didik untuk belajar lebih aktif disertai dengan penambahan jam belajar di
sekolah agar peserta didik mencapai kompetensi sikap, keterampilan dan
pengetahuan secara utuh. Peserta didik harus dipandang sebagai pemikir yang
aktif dalam proses mengembangkan potensi dan mewujudkan diri yang selalu
terjadi dalam situasi sosial.
4.
Kurikulum 2013 juga menekankan penilaian berbasis proses dan output.
Ini berarti ukuran keberhasilan pendidikan tidak berhenti pada akumulasi fakta
dan pengetahuan sebagai hasil dari ekspose didaktis yang diukur dengan angka
hasil ujian tetapi juga bagaimana hasil itu diupayakan. Kurikulum 2013 tidak menyederhanakan upaya pendidikan sebagai pencapaian target-target
kuantitatif berupa angka-angka hasil ujian
sejumlah mata pelajaran akademik saja, tanpa penilaian proses atau upaya
yang dilakukan oleh peserta didik. Kejujuran, kerja keras dan disiplin
adalah hal yang tidak boleh luput dari penilaian proses. Hasil penilaian juga
harus serasi dengan perkembangan akhlak dan karakter peserta didik sebagai
individu, sebagai mahluk sosial, sebagai warga negara dan sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan makna utuh pendidikan yang ditegaskan di dalam UU N0. 20/2003 Pasal 1 ayat 1.
5.
Di dalam Kurikulum 2013 secara tegas menuntut adanya remediasi
secara berkala pasca penilaian, terutama
bagi peserta didik yang belum mencapai batas kompetensi yang ditetapkan. Kurikulum
2013 mengakui dan menghormati adanya perbedaan kemampuan dan kecepatan belajar peserta
didik. Tidak semua peserta
didik memiliki kemampuan da kecepatan yang
sama dalam mencapai kompetensi yang
ditetapkan. Memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk mencapai kompetensi utuh sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajarnya adalah
prinsip pendidikan yang paling fundamental. Kurikulum 2013 lebih sensitif
dan respek terhadap perbedaan kemampuan
dan kecepaan belajar peserta didik.
6.
Kurikulum 2013 memberikan peluang yang lebih terbuka kepada setiap
peserta didik untuk mengembangkan berbagai
potensi yang dimilikinya secara fleksibel tanpa dibatasi dengan sekat-sekat
penjurusan yang terlalu kaku di SMA. Dengan penambahan jam belajar di sekolah. Peghapusan penjurusan IPA, IPS dan Bahasa di
SMA adalah langkah yang sangat startegis mengingat dalam proses globalisasi,
plastisitas dan fleksibilitas berfikir sangat dibutuhkan untuk dapat menghadapi
berbagai tantangan, peluang dan persoalan kehidupan yang kompleks. Dalam
situasi dunia seperti sekarang dan ke depan, peserta didik akan selalu
dihadapkan pada alternatif pilihan yang rumit disertasi dengan ketergantungan
antar individu dan antar kelompok yang
semakin kuat. Oleh sebab itu peserta didik dituntut untuk terus-menerus
belajar lebih bermakna, aktif membuat pilihan terbaik. Di dalam proses
belajarnya itu, peserta didik akan lebih
banyak berlangsung secara kolektif, kooperatif dan kolaboratif. Gaya belajar
ini menjadi ciri dari proses belajar dalam kehidupan global.
7.
Kurikulum 2013 memberikan penambahan jam belajar siswa di sekolah
bagi peserta didik dapat dimanfaatka untuk pengayaan belajar bagi mereka yang
telah mencapai kompetensi, dan merupakan
perbaikan kompetensi bagi yang
belum mencapai batas kompetensi yang ditetapkan. Waktu tutorial dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan potensi dan peminatan. Optimalisasi
potensi peserta didik dengan penambahan
jam belajar dan tutorial di sekolah tidak akan efektif jika hanya dilakukan oleh guru mata pelajaran tanpa
kolaborasi yang baik terutama dengan konselor dan orang tua. Kurikulum 2013
dengan demikian menuntut adanya
kolaborasi yang baik antara guru, konselor dan orang tua/wali.
B.
PENEGUHAN POSISI DAN ARAH LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM KURIKULUM 2013
Untuk maksud mengoptimalkan potensi keberhasilan peserta didik
dalam mencapai tujuan utuh pendidikan Nasional, berikut dikemukakan
masukan tentang Peneguhan Posisi dan
Arah Layanan Bimbingan dan Konseling bagi
penyempurnaan Kurikulum 2013.
1. Hakikat dan Urgensi
Bimbingan dan Konseling
Bimbingan adalah upaya/proses paling inti dari setiap ikhtiar pendidikan,
baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Dalam ketiga bentuk
pendidikan tersebut, proses bimbingan (guidance) dipastikan selalu
melekat di dalamnya. Berbeda dengan upaya pendidikan yang lain, misalnya pengajaran bidang studi yang tidak
selalu harus ada di dalam setiap betuk pendidikan tersebut.
Bimbingan haikatnya merupakan proses
memfasilitasi pengembangan nilai-nilai inti karakter melalui proses interaksi
yang empatik antara konselor (guru bimbinga dan konseling) dengan peserta didik
dimana konselor membantu peserta didik untuk mengenal kelebihan dan kelamahan dalam berbgai aspek
perkembangan dirinya, memahami peluang dan tantangan yang ditemukan di
lingkungannya serta mendorong penumbuhan
kemandirian peserta didik (konseli) untuk mengambil berbagai keputusan
penting dalam perjalanan hidupnya secara bertanggung jawab untuk mampu mewujudkan
kehidupan yang produktif, sejahtera, bahagia serta peduli terhadap kemaslahatan
umat manusia.
Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang penyelenggaraan bimbingan dan
konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak
adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang
lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik agar mampu
mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya dalam
aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual.
Di manapun proses pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses
perkembangan, karena setiap peserta didik adalah seorang individu yang sedang
berada dalam proses berkembang atau menjadi (on-becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian.
Untuk mencapai kematangan tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan (guidance)
agar memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya dan lingkungannya serta pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.
Alasan lain adalah adanya perbedaan individual pada peserta didik dan keniscayaan
bahwa proses perkembangan peserta didik tidak selalu berlangsung secara mulus, dalam
alur yang lurus, searah dengan potensi, harapan dan
nilai-nilai yang dianut. Dengan kata lain, proses dan dinamika perkembangan itu
tidak selalu bebas dari masalah dan tekanan baik internal maupun eksternal.
Perkembangan peserta didik tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik
fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah
perubahan. Pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, kesenjangan tingkat sosial
ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau
struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri. Perubahan-perubahan
ini sudah tentu mempengaruhi gaya hidup
(life style) warga masyarakat.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan
pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras,
dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam
kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola
perilaku atau gaya hidup peserta didik (terutama pada usia remaja) yang
cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti:
pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras,
menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy,
putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena
tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan,
seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003),
yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan
keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki
kepribadian yang mantap dan mandiri, serta
(6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan
tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat
satuan pendidikan untuk senantiasa
memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan
pendidikan tersebut.
Dalam abad 21 ini, setiap peserta
didik dihadapkan pada situasi kehidupan yang kompleks,
penuh dengan tekanan, paradoks dan ketidakmenentuan. Dalam konstalasi
kehidupan seperti ini, setiap peserta didik memerlukan berbagai kompetensi
hidup untuk secara efektif, produktif
dan bermaslahat bagi orang lain.
Untuk mengembangkan kompetensi hidup seperti ini maka sistem pelayanan pendidikan di sekolah
yang efektif tidak cukup hanya dengan mengandalkan pelayanan manajemen dan pembelajaran
mata pelajaran/bidang studi saja, tanpa disertai dengan pelayanan bantuan
khusus yang lebih bersifat psiko-pedagogis. Tanpa disertai dengan layanan
bantuan khusus (berbasis kepakaran)
untuk menghindari perilaku negatif dan pada saat yang sama mampu mengembangkan
perilaku normatif dan efektf untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan
seperti disebutkan, adalah dengan mengembangkan potensi peserta didik dan
memfasilitasi mereka secara sistematik, terprogram dan kolaboratif untuk mampu
mencapai standar kompetensi nilai perkembangan/perilaku atau karakter yang
diharapkan. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang
harus dilakukan secara proaktif, intensional dan kolaboratif yang
diselenggarakan dengan berbasis data perkembangan peserta didik secara komprehensif
dalam berbagai aspek kehidupannya.
Dengan demikian, pendidikan yang
bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan
utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif
dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan
konseling.
Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional
dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan peserta
didik yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki
kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.
Sejalan dengan
arah dan spirit kurikulum 2013, maka paradigma bimbingan dan konseling di sekolah harus berubah, yaitu dari
pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada
konselor (guru
BK),
kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan, preventif dan kolaboratif. Pendekatan ini dikenal sebagai bimbingan dan
konseling perkembangan (Developmental
Guidance and Counseling), atau
bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling).
Pelayanani
bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan
pengentasan masalah-masalah peserta didik sebagai suatu keutuhan yang
diselenggarakan secara intensif dan kolaboratif. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan
sebagai standar kompetensi perilaku
pribadi, sosial dan moral-spriritual yang harus dicapai tiap peserta didik sesuai usia kronologisnya, sehingga
pendekatan ini disebut juga sebagai
bimbingan
dan konseling berbasis nilai-nilai
inti karakter. Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian yang telah dirumuskan
berdasrkan hasil penelitian selama 5 tahun dantelah diimplementasikan di
berbagai jenjang dan jalur pendidikan.
Dalam
pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan
para personal Sekolah/Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru,
dan staf administrasi), orang tua peserta didik, dan pihak-pihak terkait
lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli: psikolog dan
dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah
secara keseluruhan dalam upaya membantu para peserta didik agar dapat
mengembangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara utuh, baik menyangkut
aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.
Atas
dasar itu, maka implementasi bimbingan
dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan
potensi peserta didik, yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar,
dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi peserta didik sebagai
makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual
(biologis, psikis, sosial, dan spiritual).
2. Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013
Dalam
kurikulum sebelumnya (KTSP) posisi dan arah layanan bimbingan dan konseling di
sekolah mengalami kemunduran karena adanya kerancuan pemahaman tentang
ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pelajaran sebagai
konteks layanan keahiannya, dengan ekspektasi kinerja guru yang menggunakan
materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya.
Sebagaimana
telah dinyatakan bahwa layanan bimbingan dan konseling disekolah merupakan
bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan dalam jalur pendidikan formal
dan layanan ini meskipun dilakukan oleh pendidik yang disebut sebagai konselor
namun ekspektasi kinerja profesionalnya berbeda dengan ekspsktasi kinerja
professional yang dilakukan oleh guru. Jika ekspektasi kinerja guru menggunakan
materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya maka ekspektasi kinerja
konselor tidak demikian.
Ekspektasi
kinerja konselor tidak meggunakan materi pelajaran dalam koteks layanan
keahliannya (bimbingan dan konseling) melainkan menggunakan proses pengenalan
diri konseli (peserta didik) dengan memperhadapkan kekuatan dan kelemahannya
dengan peluang dan tantangan yang terdapat dalam ligkungannya, untuk
menumbuhkembangkan kemandirian dalam mengambil berbagai keputusan penting dalam
perjalanan hidupnya, sehingga mampu memilih, meraih serta mempertahankan karir
(kemajuan hidup) untuk mencapai hidup
yang efektif, produktif, dan sejahtera dalam konteks kemaslahatan umum.
Pemahaman
yang rancu terhadap ekspektasi kinerja konselor tersebut, megakibatkan mutu layanan bimbingan dan konseling
mengalami kemunduran, sehigga kerancuan tersebut jelas-jelas telah mencedrai
integritas layaan bimbingan dan konseling karena layanan ahli yang dilaksanakan
oleh konselor ditarik ke wilayah layanan ahli keguruan dan diganti dengan
‘pengembangan diri’ yang maknanya direduksi sebagai pengembangan bakat dan
minat siswa, dimana bimbingan da konseling diposisikan sebagai bagian dari kegiatan
ekstrakurikuler. Selain itu guru mata pelajaran dinapikan peranannya dalam
proses ‘pengembangan diri’ itu.
Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam
memfasilitasi peserta didik mencapai tingkat perkembangan yang optimal,
pengembangan perilaku efektif, pengembangan lingkungan perkembangan, dan
peningkatan keberfungsian individu di dalam lingkungannya. Semua perubahan
perilaku tersebut merupakan proses perkembangan, yakni proses interaksi antara
individu dengan lingkungan perkembangan melalui interaksi yang sehat dan produktif.
Bimbingan dan konseling memegang tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan
lingkungan perkembangan, membangun interaksi dinamis antara individu dengan
lingkungannya, membelajarkan individu untuk mengembangkan, memperbaiki, dan
memperhalus perilaku.
Keberadaan Bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan
formal di Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1964, ketika
diberlakukan “Kurikulum Gaya Baru.”
Bimbingan dan Penyuluhan pada waktu itu dipandang sebagai unsur pembaharuan
dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Sejak diberlakukan Kurikulum Tahun 1975, pelayanan bimbingan dan
penyuluhan telah dijadikan sebagai bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan. Petugas yang secara khusus
melaksanakan pelayanan Bimbingan dan konseling disebut Guru Bimbingan dan
Penyuluhan (Guru BP).
Posisi
bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal seperti tertera pada
Gambar 1, mengindikasikan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan
bagian integral dari program pendidikan. Dengan demikian, posisi guru
pembimbing sejajar dengan guru bidang studi dan administrator Sekolah/Madrasah. Demikian pula dalam
Permendiknas No. 22/2006 menempatkan pelayanan
bimbingan dan konseling sebagai bagian
integral dari standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah.
Sejak
diberlakukannya kurikulum 1994, sebutan untuk Guru BP berubah menjadi Guru
Pembimbing, sebutan resmi ini diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya serta Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No.025/0/1995 tentang Petunjuk Teknis Ketentuan
Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya antara lain mengandung
arahan dan ketentuan pelaksanaan pepelayanan
bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah oleh guru kelas di SD dan guru
pembimbing di SLTP dan SLTA. Walaupun kedua aturan tersebut mengandung hal-hal yang berkenaan dengan pelayanan
bimbingan dan konseling, namun tugas itu dinyatakan sebagai tugas guru (dengan
sebutan guru pembimbing) dan tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai
tugas konselor. Hal ini dapat dipahami
karena sebutan konselor belum ada dalam perundangan. Penggunaan sebutan guru,
sangat merancukan konteks tugas guru yang mengajar dan konteks tugas konselor sebagai penyelenggara pelayanan ahli
bimbingan dan konseling. Guru pembimbing yang pada saat ini ada di lapangan
pada hakikatnya melaksanakan tugas sebagai konselor, namun sering diperlakukan dan diberi
tugas layaknya guru mata pelajaran. Apabila tidak digariskan penegasan dan
pencermatan yang benar, kerancuan seperti ini bisa muncul kembali dari
Permendiknas No. 22/2006, karena payung Standar Isi sebagai dasar pengembangan
KTSP pada dasarnya menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru dan
bukan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
Perlu ditegaskan bahwa bimbingan dan konseling bukanlah kegiatan
pembelajaran dalam konteks adegan
mengajar yang layaknya dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi,
melainkan pelayanan ahli dalam konteks memandirikan peserta didik. (Naskah
Akademik ABKIN, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Penyelenggaraan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal, 2007).

Gambar 1.
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal
Merujuk
pada UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, sebutan untuk guru pembimbing dimantapkan menjadi ’Konselor.” Keberadaan konselor dalam
sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik,
sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara,
fasilitator dan instruktur (UU No.
20/2003, pasal 1 ayat 6). Pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi
antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa
setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki konteks tugas, ekspektasi
kinerja, dan setting pelayanan spesifik yang mengandung keunikan dan perbedaan.
Dalam
konteks tersebut, hasil studi lapangan (2007) menunjukkan bahwa pelayanan
bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah sangat dibutuhkan, karena banyaknya
masalah peserta didik di Sekolah/Madrasah, besarnya kebutuhan peserta didik
akan pengarahan diri dalam memilih dan mengambil keputusan, perlunya aturan
yang memayungi pelayanan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, serta
perbaikan tata kerja baik dalam aspek ketenagaan maupun manajemen.
3.
Kolaborasi
Konselor, Guru dan Orang Tua dalam
Pengembangan Kemandirian
sebagai Nilai Inti Karakter
Pelayanan
bimbingan dan konseling diharapkan membantu peserta didik dalam pengenalan
diri, pengenalan lingkungan dan pengambilan keputusan, serta memberikan arahan
terhadap perkembangan peserta didik; tidak hanya untuk peserta didik bermasalah
tetapi menyangkut seluruh peserta didik. Pelayanan bimbingan dan konseling
tidak terbatas pada peserta didik tertentu
atau yang perlu ‘dipanggil’ saja”, melainkan untuk seluruh peserta didik (Guidance and counseling for all).
Di
dalam Permendiknas No. 23/2006 dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang
harus dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran bidang studi, maka
kompetensi peserta didik yang harus dikembangkan
melalui pepelayanan bimbingan dan
konseling adalah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) untuk mewujudkan diri (self actualization) dan pengembangan
kapasitasnya (capacity development)
yang dapat mendukung pencapaian kompetensi lulusan. Sebaliknya, kesuksesan
peserta didik dalam mencapai SKL akan secara signifikan menunjang terwujudnya
pengembangan kemandirian. Dalam hal ini kerjasama antara konselor dengan guru
merupakan suatu keharusan. Persamaan, keunikan, dan keterkaitan wilayah pelayanan guru dan
konselor dalam konteks pencapaian standar kompetensi peserta didik disajikan
pada gambar 2.
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|
Standar Kompetensi
Kemandirian utk mewujudkan diri
(akademik, karir, sosial, pribadi)
(Bimbingan dan
Konseling)
|
Misi bersama guru dan konselor dalam
memfasilitasi perkembangan peserta didik seutuhnya dan pencapaian tujuan
pendidikan nasional
|
Standar
Kompetensi Lulusan mata pelajaran
(Pembelajaran
bidang studi)
|
||||||
|
Gambar 2. Kesamaan dan Keunikan Wilayah Kerja Konselor
dan Guru
Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik
secara utuh dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus
dilaksanakan oleh guru, konselor, dan tenaga pendidik lainnya sebagai mitra
kerja, sementara itu masing-masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan
khusus dalam mendukung realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik.
Dalam hubungan fungsional kemitraan (kolaboratif) antara konselor dengan guru, antara lain dapat dilakukan
melalui kegiatan rujukan (referal).
Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru pada saat
pembelajaran dirujuk kepada konselor untuk penanganannya, demikian pula masalah
yang ditangani konselor dirujuk kepada guru untuk menindaklanjutinya apabila
itu terkait dengan proses pembelajaran bidang studi. Masalah kesulitan belajar
peserta didik sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran
itu sendiri. Ini berarti bahwa di dalam pengembangan dan proses pembelajaran
bermutu, fungsi-fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru, dan sebaliknya, fungsi-fungsi
pembelajaran bidang studi perlu mendapat perhatian konselor.
Perlu ditegaskan bahwa layanan bimbingan dan konseling
diperuntukan bagi semua (guidance and
counseling for all) dan oleh karena itu tidaklah tepat jika orientasinya hanya
kepada pemecahan masalah, melainkan mencakup orientasi pengembangan (developmental)
dan pemeliharaan (maintanance) secara menyeluruh. Layanan bimbingan dan
konseling adalah upaya memfasilitasi perkembangan individu (dalam aspek
pribadi, sosial, pendidikan, karir) ke arah kemandirian (dalam hal menetapkan
pilihan, mengambil keputusan, dan tanggung jawab atas pilihan dan keputusan
sendiri) untuk meujudkan diri (self-realization) dan pengembangan
kapasitas (capacity development).
Prinsip bimbingan dan konseling untuk semua mengandung
arti bahwa target populasi layanan bimbingan dan konseling dalam jalur
pendidikan formal termasuk para peserta didik yang berbakat dan berkebutuhan
khusus terutama yang memiliki kecakapan intelektual normal. Layanan bimbingan dan konseling bagi anak
berkebutuhan khusus akan amat erat kaitannya dengan kegiatan hidup sehari-hari
(daily living activities) yang
tidak terisolasi dari konteks. Oleh
karena itu layanan bimbingan dan
konseling bagi anak berkebutuhan khusus merupakan layanan intervensi tidak
langsung yang akan lebih terfokus pada upaya mengembangkan lingkungan
perkembangan (inreach maupun outreach) bagi kepentingan
fasilitasi perkembangan peserta didik, yang akan melibatkan banyak pihak di dalamnya
terutama guru pendidikan khusus dan orang tua.
Demikian pula bimbingan dan konseling bagi anak
berbakat, tidak diperlakukan dan dipandang sebagai upaya yang luar biasa,
melainkan dilihat sebagai bagian dari upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional, baik di tingkat
satuan pendidikan maupun individual. Oleh karena itu, pencapaian prestasi luar
biasa misalnya prestasi dalam olimpiade fisika, olimpiade matematika dan dalam
berbagai mata pelajaran lain, sejajar dengan keberbakatan bidang olah raga,
misalnya bulutangkis, tinju, catur,
yang memang memerlukan takaran latihan di atas yang diperlukan oleh peserta
didik pada umumnya. Di bidang pendidikan pada umumnya, sebagai hasil pendidikan
nasional, diharapkan akan dihasilkan lulusan yang memiliki karakter kuat yang
dituntun keimanan, yang menghargai keragaman dalam kehidupan berbangsa yang
bhineka, akrab dan fasih iptek serta menguasai soft skills, dan bugar scara
fisik di samping memiliki kebiasaan hidup sehat.
4.
Fokus dan Kerangka Program Layanan Bimbingan
dan Konseling dalam
Kurikulum 2013
Konteks tugas konselor dalam pendidikan adalah dalam
proses pengenalan diri oleh pesera didik (konseli) beserta peluang dan
tantangan yang ditemukanya dalam
lingkungan, sehingga memfasilitasi penumbuhan kemandirian peserta didik dalam
mengambil sendiri berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya
(belajar, pribadi, sosial dan karir) dalam rangka mewujudkan kehidupan yang
produktif, sejahtera, dan bahagia serta peduli kepada kemaslahatan umum,
melalui berbagai upaya yang dinamakan pedidikan.
Dengan demikian fokus layanan bimbingan dan konseling di sekolah adalah
menumbuh-kembangkan kompetensi kemandirian sebagai nilai inti karakter. Dalam konteks ini, perlu dikembangkan
(a) sikap dan berperilaku baik, jujur dan etis; (b) belajar bertanggungjawab; (c) disiplin,
kerja keras dan efisien; (d) kesadaran kultural sebagai warganegara, seperti peduli, toleran,
saling menghargai dsb, (e) peningkatan
pengetahuan dan keterampilan
hidup sesuai dengan tinkat perkembangan.
Program bimbingan dan konseling di sekolah bukan
merupakan aktivitas ekstrakurikuler melainkan merupakan suatu program yang
secara sistematis diarahka untuk mengoptimalkan
pencapaian kompetensi perkembangan setiap peserta didik dalam aspek
pribadi, sosial, belajar dan karirnya secara utuh dimana nilai inti karakter
melekat di dalam semua bidang layanan tersebut.
Dengan mengingat konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan
target populasi layanan bimbingan dan konseling, sebagai layanan ahli, seorang konselor memiliki tugas dan tanggung
jawab untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara
komprehensif, yang berorientasi pengembangan dan pemeliharaan karakter, dan
melayani seluruh peserta didik, dengan kerangka program kerja utuh yang
meliputi komponen-komponen sebagai
berikut.
Komponen Layanan Dasar/Umum, yaitu layanan
yang bersifat antisipatoris, preventif dan pengembangan. Layanan ini
diperuntukan bagi semua peserta didik tanpa terkecuali. Layanan dasar diarahkan untuk pengembangan kompetensi perkembangan sesuai dengan
tahap dan tugas-tugas perkembangannya peserta didik. Layanan ini dapat
dilakukan oleh konselor sendiri maupun dengan kolaborasi antara konselor, guru
orang tua atau pakar yang
berada di luar sekolah. Bentuk layanan yang
diupayakan anatara lain:
(1)
Penghimpunan data setiap peserta
didik (hasil asesmen tes dan nontes) dalam
berbagai aspek perkembangan seperti data demografis, hasil belajar,
bakat, minat, kecerdasan, kepribadian, kebiasaan belajar dan jaringan hubungan
sosial;
(2)
Bimbingan klasikal atau bimbingan
kelompok yang
diselenggarakan secara regular dan terjadual dengan menggunakan metode dan
teknik khas bimbingan dan konseling yang menarik, interaktif, menyenangkan, dan
reflektif.
(3)
Topik-topik yang dibahas atau dilatihkan dirancang sesuai hasil needs
assessment sehingga relevan dengan kebutuhan BK yang
dialami peserta didik. Topik yang diangkat seperti sikap dan
keterampilan studi/belajar,
pemecahan masalah, hubungan sosial, keterampilan komunikasi yang efektif, negosiasi dan
manajemen konflik, pengembngan sikap toleran, kepercayaan diri, konsep diri, pengendalian
emosi, kerja sama, perilaku etis, kreativitas, disiplin, Say No to Drugs, dan sebagainya.
(4)
Penggunaan instrumen bimbingan dan
konseling untuk asesmen perkembangan dan kegiatan tatap muka terjadwal di kelas
sangat diperlukan untuk implementasi komponen ini. Dalam hal tertentu guru bisa
ambil bagian untuk mendukung pencapaian kompetensi belajar peserta didik
melalui pengembangan nuturant effect pembelajaran
Komponen Layanan Responsif, yaitu layanan
yang dimaksudkan untuk membantu peserta didik memecahkan masalah (pribadi,
sosial, akademik, karir) yang dihadapinya pada saat ini dan memerlukan
pemecahan segera. Penggunaan instrumen pengungkapan masalah diperlukan
untuk mendeteksi masalah apa yang perlu
dientaskan. Di sinilah layanan konseling individual maupun kelompok diperlukan
dengan segala perangkat pendukungnya.
Komponen Layanan Perencanaan Individual, yaitu layanan
yang dimaksudkan untuk memfasilitasi peserta didik secara individual di dalam
merencanakan masa depannya berkenaan dengan kehidupan akademik maupun karir.
Pemahaman peserta didik secara mendalam dengan segala karakteristiknya dan
penyediaan informasi yang akurat sesuai dengan peluang dan potensi yang
dimiliki peserta didik amat diperlukan sehingga peserta didik mampu memilih dan
mengambil keputusan yang tepat di dalam mengembangkan potensinya secara
optimal, termasuk keberbakatan dan kebutuhan khusus peserta didik. Kegiatan
orientasi, informasi, konseling individual, rujukan, kolaborasi, dan advokasi diperlukan di dalam implementasi layanan
ini.
Layanan Pendukung, yaitu kegiatan yang terkait dengan
dukungan manajemen, tata kerja, infra struktur (misalnya Teknologi Informasi
dan Komunikasi), kolaborasi atau konsultasi dengan berbagai pihak yang dapat
membantu peserta didik, pelatihan pembelajaran bernuansa Bimbingan dan
Konseling bagi Guru Bidang Studi, termasuk pengembangan kemampuan konselor
secara berkelanjutan sebagai profesional.
Sebagai
pedoman
umum dalam pengembangan komponen
program
layanan bimbingan dan konseling di sekolah, maka proporsi layanan bimbingan dan
konseling dalam Kurikulum 2013 diatur sebagai berikut.
BENTUK LAYANAN
|
SD
|
SMP
|
SMA/SMK
|
Layanan Dasar
|
35
– 45 %
|
25
– 35 %
|
15
– 25 %
|
Layanan
Responsif
|
30
–
40 %
|
30-
40 %
|
25
– 35 %
|
Layanan
Perencanaan Individual
|
15
– 10 %
|
15
– 25 %
|
25
– 35 %
|
Layanan
Suportif dan Kolaboratif
|
10
– 15 %
|
10
– 15 %
|
15
– 20 %
|
Dengan rasio Konselor: Peserta didik = 1:150 dan dengan
beban tugas 24 jam/minggu maka
perhitungan ekuwivalensi tugas
konselor 24 jam dan 150 siswa perminggu adalah sebagai berikut.
BENTUK LAYANAN
BIMBINGAN
|
PEMBAGIAN WAKTU
PELAYANA DI SMA/SMK
|
Layanan Dasar
|
25 % X 24 Jp =
6 Jp Tatap Muka Kelas Terjadwal
|
Layanan
Responsif
|
30 % X 24 Jp =
7 Jp, Bimbingan Kelompok dan Konseling Individual
|
Layanan
Perencanaan Individual
|
30 % X 24 Jp =
7 Jp Bimbigan/ Konsultasi Perencanaan Akademik, Karir dan Pribadi
|
Layanan
Suportif dan Kolaboratif
|
15 % X 24 Jp =
4 Jp Kolaborasi/Konsultasi dengan Orang Tua/Wali kelas
|
Sasarran
kompetensi perkembangan atau kemandirian, dan kerangka program layanan bimbinga
dan konseling sudah ada pada buku Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan
Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (2008). Untuk selanjutnya pedoman umum
tersebut perlu dikembangkan lebih operasional berupa:
1.
Buku Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan
dan Konseling di Sekolah Dasar.
2. Buku Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan
dan Konseling di Sekolah Menengah Pertama.
3. Buku Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan
dan Konseling di Sekolah Menengah Atas.
4. Buku Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan
dan Konseling di Sekolah Menengah Kejuruan.
1 comments:
suwun tadz atas infonya.........
Post a Comment